Untuk mengisi kesumpekan hati yang meraja-lela dalam bathin saya, saya menyempatkan membuka file-file lama. Seraya memilah-milah mana yang harus saya buang dan tetap saya simpan. Akhirnya saya terantuk pada satu folder bernama GATHE'L. Penasaran saya buka ternyata adalah folder yang berisi Serat Dharmogandul dan Serat Gatholoco. Sayapun membaca "serat gatholoco", sebuah karya sastra Jawa yang dianggap fenomenal Dimasanya karya ini diterbitkan sampai saat ini karya sastra ini dianggap kontroversial karena mengkritisi secara pedas dan vulgar tentang pemahaman dan perilaku para muslim yang dianggap salah oleh GATHOLOCO, Gatholoco sendiri adalah tokoh utama dalam serat ini. Dalam untaian syair yang indah dalam susunan yang berurutan dari mijil hingga Kinanti, sang Gatholoco yang di gambarkan sebagai sosok orang biasa ,kelas proletar Jawa dengan penampilan amburadul jelek alang kepalang seperti saya.....ia digambarkan berpostur pendek dan kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera (arah pandang mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya, hidung pesek mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna biru, janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek....hahaha lagi-lagi seperti saya.
Dalam Serat Gatholoco ini dikisahkan sebagai sosok lakon Antagonis,berbadan pendek ,hitam ,badan tidak terurus, kemproh,pokoknya si Gatholoco ini disebut sebagai tokoh yang jelek luar dalam,bahkan namanyapun berkonotasi tabu,yaitu burung yang digesek-gesekkan pada.....(anda pasti sudah bisa menduga ). Dalam seratan ini , perjalanan spiritual Gatholoco dimulai dengan berdebat hebat dengan para kyai dari pondok pesantrian Rejasari. Setelah dihina oleh ketiga kyai tersebut sebagai bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brekasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Memedi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis ia sebagai manusia kebayakan marah.dan dalam pengaruh candu yang diuntalnya ,Gatholoco berdebat habis-habisan tentang kesejatian dengan para Kyai-kyai tersebut tentang ILMU KESEJATIAN. Dibawah rindangnya lindungan bayang-bayang pohon beringin di tepi jalan kisah ini berawal.
Gatholoco merupakan karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat berisi ajaran tasawuf dan ajaran filsafat hidup Jawa. Di dalam suluk ini sarat akan nasehat hidup, tentang hidup yang sederhana, rendah hati, dan tidak hanya memandang seseorang dari bentuk rupa fisik saja. Suluk Gatholoco mengandung banyak muatan ajaran hidup kesejatian,penjabaran kehidupan,sahadat sejati,penjabaran kedudukan manusia dengan Tuhannya, wayang dalam kehidupan, wanita,kehidupan rumah tangga,mati untuk hidup. masih banyak lagi.
Dari serat -serat yang pernah saya baca; Dharmagandul, Walisanga, dan Syeh Siti Jenar. Serat Gatholoco merupakan yang terlengkap, terlugas,bahkan tanpa babibu mengkritisi,mengungkap tentang sesuatu yang tabu dengan bahasa yang khas bahasa "PEMBERONTAKAN". Disinilah letak ke khasan seorang Jawa sebagai seorang pemberontak halus. Memlintirkan sesuatu yang tabu, kasar menjadi sesuatu yang halus penuh makna. misal nya makian ASU (anjing ) menjadi A -Su. A adalah tidak, SU adalah baik, jadi ASU adalah sesuatu yang tidak baik. Dalam kehidupan keseharian seorang Jawa tokoh wayang yang di idolakan adalah SEMAR, diasosiasikan sebagai sesuatu yang SAMAR, MANCOLO PUTRA MANCOLO PUTRI, seperti wanita seperti laki-laki, penggambaran MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI ....ahh jadi ngelantur
Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1-13 dalam serat Gatholoco dijelaskan tentang definisi wayang. Melalui bahasa yang lugas. si Gatholoco memberikan teka-teki pada 3 Kyai,yaitu ; Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Abdul Jabar ,Abdul Manap (Manaf). " Dalang Wayang dan Kêlir (Layar), serta Balencong (pelita yang dinyalakan pada jaman dulu selama pertunjukan wayang kulit digelar) mana yang lebih tua, jawablah teka-teki ini, apabila kalian nyata pandai, pasti akan tahu mana yang lebih tua?"....
Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) :1-13
Gatholoco nulya ngucap, Dhalang Wayang lawan Kêlir, Balencong êndi kang tuwa, badhenên cangkriman iki, yen sira nyata wasis, mêsthi wêruh ingkang sêpuh, Ahmad Ngarip ambatang, Kêlir kang tuwa pribadi, sadurunge ana Dhalang miwah Wayang.
Gatholoco lantas berkata, Dalang Wayang dan Kêlir (Layar), serta Balencong (pelita yang dinyalakan pada jaman dulu selama pertunjukan wayang kulit digelar) mana yang lebih tua, jawablah teka-teki ini, apabila kalian nyata pandai, pasti akan tahu mana yang lebih tua, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) menjawab, Kêlir (Layar) yang lebih tua sendiri, sebelum adanya Dalang dan Wayang.
Balencong durung pinasang, Kêlir ingkang wujud dhingin, wus jumênêng keblat-papat, ngisor têngah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, Abdul Jabar asru muwus, Heh Ahmad Ngarip salah, pambatangmu iku sisip, panêmuku tuwa dhewe Kaki Dhalang.
Sebab sebelum Balencong dipasang, Kêlir (Layar)-lah yang ada dahulu, sebagai perlambang empat penjuru mata angin, arah bawah tengah dan atas, makanya lebih tua sendiri, Abdul Jabar berkata lantang, Hai Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) kamu salah, jawabanmu itu keliru, menurutku yang lebih tua adalah Ki Dalang.
Anane Kêlir lan Wayang, kang masang Balencong sami, Wayang gaweyane Dhalang, mulane tuwa pribadi, tan ana kang madhani, anane Dhalang puniku, ingkang karya lampahan, nyritakake ala bêcik, asor unggul tan liya saking Ki Dhalang.
Adanya Kêlir (Layar) dan Wayang, serta yang memasang Balencong, Wayang buatan Dalang, makanya lebih tua sendiri, tiada yang menyamai, keberadaan Dalang tersebut, bahkan yang menjalankan wayang, menceritakan hal yang buruk dan baik, kalah dan menang tak lain adalah Ki Dalang.
Nulya Kyai Abdul Manap, nambungi wacana aris, Karo pisan iki salah, padha uga durung ngêrti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih gampang, ora susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dhewe Wayang-ira.
Lantas Kyai Abdul Manap (Abdul Manaf), menyahut dengan pelan, Jawaban kalian berdua itu salah, sama-sama tidak memahami, tidak bisa menjelaskan, padahal itu teka-teki yang remeh, gampang dijawab oleh akal, tidak perlu susah berfikir, aku menjawab yang paling tua sendiri adalah Wayang-nya.
Upama wong nanggap Wayang, isih kurang têlung sasi, Dhalange pan durung ana, panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap Ringgit, tutur mitra karuhipun, sun arsa nanggap Wayang, ora ngucap nanggap Kêlir, ora ngucap nanggap Balencong lan Dhalang.
Seumpama ada orang yang hendak mengundang hiburan Wayang kulit, masih dalam jangka waktu tiga bulan sebelumnya, Dalang belum ada, tempat pertunjukan belum dibuat, sudah diucapkan kemana-mana hendak mengundang hiburan Wayang kulit, diberitahukan ke teman dan keluarga, bahwa aku hendak mengundang hiburan Wayang kulit, tidak mengatakan hendak mengundang hiburan Kêlir (Layar), tidak mengucapkan hendak mengundang hiburan Balencong maupun mengundang hiburan Dalang.
Wus mupakat janma kathah, kang tinanggap apan Ringgit, durung paja-paja gatra, wus muni ananggap Ringgit, mila tuwa pribadi, Gatholoco alon muwus, Abdul Jabar Dul Manap, tanapi si Ahmad Ngarip, têlu pisan pambatange padha salah.
Sudah sepakat semua orang, yang hendak diundang adalah hiburan Wayang kulit, belum juga ada terlihat hadir, sudah dikabarkan hendak mengundang hiburan Wayang kulit, makanya Wayang itu tua sendiri, Gatholoco pelan berkata, Abdul Jabar (Ab)dul Manap (Abdul Manaf), apalagi si Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), jawaban kalian semua salah.
Yen mungguh pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih pêtêng nggenipun, sayêkti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.
Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Kêlir (Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.
Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.
Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Kêlir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.
Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês pangucap-ipun, awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.
Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.
Dene unining gamêlan, Wayange kang den gamêli, Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gêdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.
Sedangkan bunyi gamêlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya gamêlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.
Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi, basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti, langgêng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.
Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.
Ingkang mêsthi nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa.
Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.
Basa Kêlir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.
Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa. ....